Kata-kata sumber dalam hukum Islam
merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan
ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan
sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti
keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu,
ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu
untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah
Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah
SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah,
diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
1. Tuntunan yang berkaitan dengan
keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak,
yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika
kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah,
yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al
Qur’an
Isi kandungan Al
Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114
surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi
hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah:
hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang
berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau
Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah
yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini
tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak.
Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus
menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi
menjadi dua kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah
seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal
kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana),
perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah
meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian,
yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai,
perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara
dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat
menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat,
yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan
kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan
antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga
tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan
pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci
umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada
bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT),
namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan
perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar,
umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan,
undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini
hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan
nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT
telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT:
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini
disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan
merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan
mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW
memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum
Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku
tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam
yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi
sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an
menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam
firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…”
(QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh
hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an
yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram
dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian
datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni
bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan
yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang
dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang
dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya
dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak
ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits
hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau
hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits
dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1.
Rawinya bersifat adil
2.
Sempurna ingatan
3.
Sanadnya tidak terputus
4.
Hadits itu tidak berilat, dan
5.
Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits,
terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. Memahami bahasa arab dengan segala
kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. Mengetahui soal-soal ijma
4. Menguasai ilmu ushul fiqih dan
kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun
hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya
perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya
beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat
manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat
menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh
imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah
wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman,
taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat
kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan,
termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu
sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang
berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang
ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada
hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.
Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman
keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi,
walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap
diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al
Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1.
Dasar (dalil)
2.
Masalah yang akan diqiyaskan
3.
Hukum yang terdapat pada dalil
4.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan
masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
·
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan
hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan
hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk
kepentingan keadilan
·
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya
suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil
lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
·
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum
perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits
dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat
setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan
sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau
dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan
hadits
·
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang
sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara
langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang
tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan
diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
·
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati
oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
·
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang
menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum
dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus
dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang
mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan
dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau
dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala,
sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya yang
artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak
keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan
diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh
dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu
juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits,
ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan,
istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari
pengambilannya terdiri atas empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang
tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak
yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual beli boleh memilih
antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah. Kata
“berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau
pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala
atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al
Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
مَا
اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Alat apapun yang dapat mengalirkan
darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara
qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat
(ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik
qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu.
Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini
adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai
denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu
terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah
dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa
kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain.
Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya.
Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan
tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok
pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh
muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta
fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.
Sumber :
https://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar